Apa itu Perjanjian?
Apa yang ada di pikiran kita ketika kita mendengar istilah “perjanjian”? Kebanyakan orang membayangkan perjanjian sebagai setumpukan dokumen tebal yang mengatur hubungan-hubungan ekonomi yang bersifat eksklusif dan prestisius antara pihak-pihak yang ingin melakukan sebuah transaksi. Pada dasarnya, perjanjian menunjukan relasi antara dua orang yang terlibat dalam kesepakatan tentang hal tertertu. Pada saat melangsungkan aktivitas sehari-hari, dimulai dari bertemu dengan tukang parkir di jalan, menerima bon sebagai bukti pembayaran ketika berbelanja di toko, hingga menyantap makanan di restoran, kita tanpa sadar mengadakan perjanjian-perjanjian dengan orang-orang yang kita temui.
Perjanjian sendiri adalah peristiwa yang lahir ketika dua orang secara timbal balik berjanji untuk melaksanakan kewajiban dan memperoleh hak tertentu. Hubungan timbal-balik yang terjalin kemudian telah dapat disebut sebagai perjanjian dan dapat memiliki akibat hukum. Suatu perjanjian tidak wajib dituangkan dalam bentuk dokumen tertulis yang formal atau yang biasa disebut kontrak, karena setiap persesuaian kehendak antara kedua individu yang sepakat telah menjadi fondasi lahirnya perjanjian.
Kesepakatan untuk mengikatkan diri pada perjanjian diawali oleh adanya kesesuaian kehendak. Bagaimana dapat disimpulkan bahwa kehendak masing-masing pihak telah sesuai? Pihak pertama memberikan penawaran (offer) atau mengajukan usul (proposal) untuk memperjanjikan sesuatu kepada pihak kedua. Konteks “memperjanjikan sesuatu” disini berada dalam ruang lingkup janji untuk memberikan atau melakukan sesuatu. Kemudian, pihak kedua memberikan penerimaan (acceptance) terhadap tawaran pihak pertama. Penerimaan tersebut tentunya dilangsungkan dengan cara-cara yang lazim, agar pihak pertama secara gamblang mengerti intensi pihak kedua untuk menyambut tawaran atau usul dari pihak pertama. Kehendak yang telah sesuai diantara keduanya dapat dinyatakan dalam kalimat-kalimat lisan yang diucapkan para pihak atau kalimat-kalimat tertulis yang dibuat dan disetujui kedua pihak dalam bentuk tertulis. Oleh sebab itu, seperti yang dikemukan diatas, proses penawaran dan penerimaan telah berlangsung pada saat seseorang mengadakan transaksi-transaksi minor dalam rutinitasnya dan saat itu lah perjanjian telah lahir.
Sebagai contoh, seorang calon penghuni kosan telah mengadakan penerimaan terhadap tawaran pemilik rumah kos yang tertera dalam palang kayu bahwa tempat kost masih menerima penghuni. Walaupun tidak ada perjanjian tertulis di antara keduanya, telah ada kesesuaian kehendak ketika calon penghuni menyatakan intensinya kepada pemilik kost untuk menetap. Kehendak pemilik kost untuk menerima uang sewa dan kehendak calon penghuni untuk memiliki tempat tinggal telah berkesesuaian, sehingga telah lahirlah perjanjian yang mengikat kedua belah pihak.
Penjelasan diatas merupakan logika sederhana untuk mengantarkan pemahaman dasar mengenai perjanjian. Dalam hukum perjanjian, para pihak diberikan keleluasaan untuk menyusun perjanjian di antara mereka sendiri, yang dinaungi oleh asas kebebasan berkontrak. Para pihak mempunyai kebebasan seluas-luasnya untuk menentukan isi perjanjian, selama tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan kepatutan dan pastinya tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. Isi perjanjian berisikan objek yang diperjanjikan, hak dan kewajiban yang diukur sejauh mana para pihak ingin mengikatkan diri, dan keadaan-keadaan lain yang mungkin timbul seiring pelaksanaan perjanjian. Kebebasan tidak hanya menyangkut isi, tetapi juga bentuk perjanjian itu sendiri. Kebebasan yang seluas-luasnya ini tidak diaplikasikan tanpa pembatasan. Agar perjanjian dikatakan sah, pembuatannya harus tetap tunduk pada syarat-syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata secara umum dan tentunya semua hukum yang berlaku di Indonesia.
Untuk dapat dikatakan sebagai perjanjian yang sah diperlukan kesepakatan antara para pihak, para pihak yang mempunyai kapasitas dalam membuat perjanjian, adanya objek yang diperjanjikan, dan objek perjanjian yang tidak dilarang oleh hukum yang berlaku di Indonesia. Pencapaian kata sepakat terhadap hal-hal yang menjadi isi perjanjian membuat perjanjian sudah mengikat para pihak secara sah, tanpa memerlukan suatu formalitas tertentu. Formalitas artinya perjanjian itu hanya berlaku sah apabila dibuat dalam bentuk yang disyaratkan oleh Undang-Undang. Seperti misalnya, perjanjian penggabungan (merger) yang harus dibuat dalam bentuk akta autentik oleh notaris.
Kesepakatan para pihak juga harus diberikan oleh pihak-pihak yang mempunyai kapasitas untuk menyatakan intensinya. Kapasitas berarti kemampuan secara sadar untuk memahami konsekuensi dan tanggungjawab dari perbuatan yang diambilnya. Kapasitas dinilai dari usia dewasa dan kondisi psikologis individu tersebut, tentunya orang gila tidak bisa menjadi pihak dalam sebuah perjanjian. Selain itu, setiap kata sepakat haruslah diberikan dengan kesadaran dan tidak boleh jika dipaksa atau jika sebetulnya terdapat unsur penipuan.
Objek perjanjian juga sangat penting dalam sebuah perjanjian, dimana dalam sebuah perjanjian harus ada hal mengenai suatu barang (berwujud/tidak berwujud atau bergerak/tidak bergerak) atau jasa yang menjadi inti perjanjian. Hal ini bisa juga disebut sebagai prestasi dalam perjanjian, sehingga dalam sebuah perjanjian harus ada prestasi yang jelas. Namun, tidak semua hal barang atau jasa dapat menjadi objek perjanjian. Hal-hal yang dilarang oleh Undang-Undang seperti perdagangan manusia atau jual-beli obat-obatan terlarang tentunya tidak dapat menjadi objek perjanjian.
Dengan dipenuhinya syarat-syarat sahnya perjanjian, maka perjanjian telah terlahir secara sah dan mengikat para pihak. Salah satu pihak membuat penawaran dan pihak lainnya memberikan penerimaan atas penawaran, maka terciptalah kesepakatan yang melandasi suatu perjanjian. Para pihak dapat menyusun perjanjian sesuai dengan kehendaknya karena tujuan pembuatan perjanjian sendiri ditujukan untuk melindungi kepentingan pihak-pihak yang melakukan transaksi. Senyatanya, kita perlu membongkar ulang pemahamanan bahwa perjanjian merupakan berkas-berkas tebal yang ‘membelenggu’ orang dengan kewajiban-kewajiban yang membelit, padahal perjanjian dibuat dengan tujuan untuk proteksi kepentingan para pihak dan dapat disusun dengan sesederhana mungkin.