Apakah Materai Syarat Sah Perjanjian?
Mungkin kita sudah tidak asing lagi dengan peribahasa “hitam di atas putih”, yang berartikan suatu kesepakatan yang dituangkan menjadi tulisan di atas kertas. Perbuatan untuk menuliskan hitam (menggambarkan tinta hitam sebuah pena) ke atas putih (menggambarkan warna sehelai kertas), dianggap sah apabila pada bagian bawah kertas dibubuhkan tanda tangan salah satu pihak di atas materai. Kontrak, akta, surat pernyataan, maupun surat keterangan yang tidak mencantumkan materai sering dianggap belum memiliki kekuatan hukum. Pemahaman seperti ini menghasilkan persepsi bahwa kehadiran materai dalam bentuk-bentuk dokumen tertulis seakan telah menjadi prasyarat sahnya perjanjian yang berlaku di antara kedua belah pihak. Apakah ini benar?
Apabila kita menilik kembali kepada syarat sah suatu perjanjian yang digariskan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, kita akan menemukan bahwa perjanjian dianggap sah apabila di dalamnya terkandung kesepakatan, kemampuan untuk melakukan tindakan hukum oleh para pihaknya, adanya hal atau objek yang diperjanjikan, dan kehalalan objek perjanjian. Keempat syarat ini berlaku baik bagi perjanjian yang dibuat dalam bentuk lisan maupun tertulis. Kata sepakat diantara kedua belah pihak telah cukup untuk menimbulkan akibat hukum bagi keduanya. Para pihak yang telah sepakat dengan kehendaknya dapat membuat perjanjian cukup dengan perkataan (lisan) maupun apabila dikehendaki dengan tertulis dalam akta. Hukum mengakui kekuatan hukum perjanjian yang lahir dari perkataan sepakat kedua belah pihak, terkecuali bagi perjanjian-perjanjian yang oleh undang-undang wajib dibuat secara tertulis (formal) seperti perjanjian perdamaian dan perjanjian hibah. Dengan syarat pertama sah nya perjanjian, kita telah dapat mengetahui bahwa materai bukanlah faktor determinan sah atau tidaknya perjanjian. Karena, perjanjian yang berbentuk lisanpun diakui dan telah menimbulkan akibat hukum selama ketiga syarat lainnya berupa kecakapan para pihak, adanya objek perjanjian, dan kehalalan objek perjanjian telah terpenuhi.
Apabila materai bukan merupakan syarat sah perjanjian, maka apakah fungsi materai di dalam suatu perjanjian? Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai menggariskan fungsi materai sebagai pajak dokumen untuk dokumen-dokumen tertentu. Pemungutan pajak dokumen berarti bahwa pembubuhan bea materai menjadi objek pemasukkan kas negara. Pajak yang dipungut dari pembubuhan materai bersifat sebagai kontribusi wajib yang dibayarkan warga negara kepada negara tanpa menutut adanya imbalan balik yang ditujukan untuk keperluan negara. Sehingga, fungsi bea materai adalah sebagai tarif terhutang yang menjadi sumber pendapatan negara. Perlu dipahami selanjutnya, bahwa Undang-Undang Bea Materai dalam Pasal 2 dan Pasal 4 telah menentukan jenis-jenis dokumen yang dikenakan bea materai dan jenis-jenis dokumen yang tidak dikenakan bea materai.
Selain sebagai kontribusi wajib bagi pemasukkan negara, materai juga berfungsi sebagai kekuatan legalitas dokumen yang akan dijadikan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan. Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Bea Materai, dokumen yang akan semula tidak dikenakan bea materai berdasarkan tujuannya, namun akan digunakan sebagai alat pembuktian, wajib dilakukan pemateraian kemudian. Perjanjian atau surat pernyataan yang tidak dibubuhkan materai tidak menggeser keabsahan atau sahnya kelahiran perjanjian atau surat pernyataan tersebut. Namun, untuk keperluan pembuktian di pengadilan, Kepmenkeu No. 476/KMK.03/2002 Tahun 2002 tentang Pelunasan Bea Meterai dgn Cara Pemeteraian Kemudian mengamanatkan sang pemilik perjanjian atau surat pernyataan untuk melakukan pemateraian dengan menggunakan Materai Tempel yang selanjutnya disahkan oleh Pejabat Pos. Pemahaman ini penting oleh karena walaupun bagi dokumen-dokumen yang seharusnya dikenakan bea materai menurut Pasal 2 Undang-Undang Bea Materai, namun oleh pemiliknya tidak dibubuhi materai, baik dalam bentuk akta notaris, kontrak, akta yang dibuat oleh PPAT, surat berharga, atau surat yang memuat nominal uang lebih dari 1,000,000 juta Rupiah, tidak menyebabkan dokumen tertulis menjadi tidak sah atau batal demi hukum. Oleh karena, selama syarat sah perjanjian telah terpenuhi, maka perjanjian tetap absah dan memiliki akibat hukum.
Apabila disimpulkan, materai jelas bukanlah syarat sah perjanjian. Fungsi materai terbatas sebagai kontribusi wajib yang harus dilunasi warga negara untuk setiap pembuatan dokumen tertulis menurut peraturan perundang-undangan. Sedangkan, konsekuensi hukum dari tidak dibubuhkannya materai ialah bahwa sang pemilik dokumen tertulis tersebut memiliki kewajiban terutang berupa bea materai yang harus dilunasi dan dokumen tersebut tidak dapat memiliki kekuatan legalitas sebagai alat pembuktian di persidangan.