Handshake Deal vs. Perjanjian Tertulis
Selayaknya sebagai seorang mahluk sosial yang aktif berinteraksi dengan sesamanya, baik karakter, pola pikir, dan tingkah laku manusia dipengaruhi oleh patokan ideal atau standar-standar yang ditentukan oleh budaya. Pengaruh terbesar budaya menentukan penilaian tentang apa yang dipercaya sebagai suatu kebenaran dan apa yang tidak. Salah satu bukti bahwa budaya mempengaruhi bagaimana suatu transaksi ekonomi tradisional dilakukan dapat kita lihat dalam sejarah “handshake deal”. Di beberapa tradisi regional ketimuran, jabatan tangan diartikan sebagai simbol kesepakatan yang menandakan penghormatan tertinggi terhadap orang yang dengannya kita membuat suatu kesepakatan serta isi kesepakatan itu sendiri. Kebudayaan ini lebih menganggap kerjasama dan rasa saling percaya dalam jangka panjang ketimbang dokumen hukum. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah handshake deal aman secara hukum? Mari kita lihat contoh kasus dibawah ini.
Ikatan emosional dalam sebuah handshake deal tidak dapat memproyeksikan apa yang akan terjadi di masa depan. Pada tahun 1984, sebuah perusahaan bernama Penzoill telah berencana untuk mengambilalih perusahaan lainnya yaitu Getty Oil. Namun, tawaran yang telah disepakati oleh pihak Getty Oil dengan pihak Penzoill ini batal akibat sebuah kesepakatan yang secara informal dibuat oleh Gordon Getty dengan pihak Texaco. Kesepakatan ini dimulai karena salah satu banker investasi dari pihak Getty Oil yang bernama Geoffrey Boisi belum merasa puas dengan nominal yang ditawarkan oleh Penzoil selaku pihak yang akan mengambilalih Getty Oil. Boisi meneruskan pencarian ke perusahaan lain yang dapat memberikan harga penawaran tertinggi. Texaco menunjukkan ketertarikan dan pertemuan antara Gordon Getty dengan perwakilan Texaco menyepakati pengambilalihan sebesar 11,8% dengan nilai $125/lot. Pada akhirnya diketahui fakta bahwa kesepakatan di antara keduanya berasal dari komunikasi verbal dan jabatan tangan. Karena pada saat yang bersamaan, advokat-advokat Getty Oil masih melakukan penyusunan perjanjian tertulis untuk mengesahkan kesepakatan antara Getty Oil dan Penzoill yang telah terjadi lebih dulu. Pihak Penzoill menggugat Texaco atas tuduhan intervensi yang dilandaskan itikad buruk untuk membatalkan pengambilalihan Penzoill terhadap Getty Oil.
Dari kasus diatas, pelajaran yang dapat dipetik ialah betapa pentingnya sebuah kesepakatan dituangkan dalam dokumen tertulis. Kelemahan sebuah perjanjian lisan adalah para pihak menganggap bahwa bukan selembar kertas-lah yang mengikat keduanya, melainkan kesadaran akan adanya kesamaan tujuan dan kewajiban bersama – dan dalam arti selanjutnya, apabila keadaan berubah, begitupula kesepakatan yang telah diambil. Sikap fleksibel dan miskin integritas ini dapat membahayakan keduanya. Para pihak bukan cenayang yang dapat memprediksi masa depan, dan manusia mudah mangkir dari perkataan lisannya terutama dalam keadaan mendesak yang tidak menguntungkan posisinya.
Selain itu, komunikasi lisan mungkin dapat diingat dalam waktu dekat dan tidak dapat menimbulkan akibat apapun apabila penyerahan dan penerimaan objek yang diperjanjikan dilangsungkan dalam waktu yang tidak lama semenjak perjanjian diucapkan. Namun, untuk jenis perjanjian yang berlangsung dalam kurun waktu bertahun-tahun dan telah terjadi menurunnya intensitas interaksi antara para pihak yang terdahulu dapat menyebabkan suatu pihak tidak ingat dirinya pernah membuat suatu perjanjian di masa lampau dengan pihak lainnya.
Perjanjian tertulis berfungsi agar baik hak dan kewajiban kedua belah pihak jelas batasannya. Selain batasan yang jelas tentang pokok transaksi, perjanjian tertulis mengatur seberapa kadar hak dan kewajiban yang harus tetap dipenuhi apabila ada perubahaan keadaan-keadaan yang menyebabkan suatu kewajiban tidak dapat dilaksanakan. Fungsi pertama perjanjian tertulis ini terkait dengan fungsi kepastian hukum. Tidak ada para pihak yang dapat dimintakan melampaui dari porsi kewajiban yang telah ia setujui dilakukan dan apabila salah satu pihak dirugikan hak-nya, akibat kelalaian pemenuhan kewajiban, pihak tersebut dapat menuntut porsi hak nya sebatas apa yang telah ditentukan dalam perjanjian.
Dalam beberapa kegiatan jual beli, misalnya pembeli baru mengetahui adanya cacat yang menyebabkan barang yang dibelinya tidak dapat berfungsi dengan maksimal. Apabila pembelian dilakukan hanya dengan perkataan atau ucapan, pada umumnya baik dari pembeli dan penjual tidak membicarakan bagaimana apabila kondisi demikian terjadi. Penjual pun dapat mengelak dengan menyatakan bahwa barang yang dapat dibeli tidak dapat dikembalikan dan sudah menjadi tanggungjawab dari pembeli. Padahal apabila diperjanjikan secara tertulis dan mengacu pada aturan dalam Undang-Undang, sesungguhnya pembeli dapat membatalkan transaksi dan meminta pengembalian biaya pembelian sepenuhnya.
Selain sebagai kepastian hukum yang menjamin tidak keluarnya para pihak dari koridor hak dan kewajiban yang telah disepakati, perjanjian tertulis juga dapat menjadi ‘senjata’ yang ampuh ketika timbul persengketaan di pengadilan. Transaksi yang diikat hanya dengan komunikasi lisan rawan menimbulkan bantahan-bantahan yang tiada berujung di muka persidangan. Kita akan menyaksikan pertunjukan yang dapat dianalogikan sebagai sebuah pertandingan olahraga, dimana para pihak saling melempar klaim, mengajukan saksi yang menguntungkan diri mereka dan melayangkan tangkisan untuk meyakinkan hakim.
Pada akhirnya, ruang penafsiran akan siapa yang benar dan siapa yang bersalah berada di tangan hakim sepenuhnya. Padahal, keberhasilan seseorang untuk menggugat di muka peradilan perdata ditentukan berdasarkan seberapa kuat bukti yang ia dapat ajukan. Karena peradilan perdata di Indonesia menitikberatkan mencari kebenaran formil (bukti pelaksanaan prosedur dan persyaratan), bukan kebenaran materiel (kebenaran yang hakiki dan ideal). Yang perlu dipahami, perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuat dan terikat di dalamnya. Perjanjian yang dituangkan dalam bentuk tertulis mempunyai kekuatan pembuktian di muka persidangan. Sehingga dalil dari para pihak dapat dimenangkan dalam posisi terkuat ketika terdapat bukti tertulis sebagai dasar dalilnya. Perjanjian dalam bentuk tertulis menjamin kekuatan klaim yang bebas dari asumsi tanpa dasar dan kekeliruan, yang sangat mungkin terjadi apabila aspek pembuktian terbatas pada kesaksian lisan.
Kedua fungsi perjanjian tertulis inilah yang sepatutnya menjadi dasar argumentasi mengapa keberadaan handshake deal sebagai penanda kesepakatan harus dikesampingkan sepenuhnya. Gestur simbolik tersebut dapat tetap dilestarikan, dengan menghormati corak kebudayaan dan unsur kepercayaan yang menjadi fondasi kepercayaan seseorang bersedia masuk ke dalam sebuah perjanjian, namun tidak dalam kerangka fungsi sebagai tali pengikat kedua belah pihak. Sebagaimana hukum diciptakan untuk membentuk tertib hidup di masyarakat, perjanjian tertulis hakikatnya berfungsi sebagai alat pengukur agar porsi hak dan kewajiban tidak berkurang atau bertambah kadarnya (kepastian hukum) dan juga sebagai tameng pelindung yang dapat melindungi pihak yang memiliki dalil dari klaim-klaim yang tidak didasarkan pada kebenarannya.