Notaris & Perjanjian
Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) membebaskan individu-individu yang terikat dalam kontrak untuk menentukan objek, bentuk, dan substansi perjanjian lainnya. Selama perjanjian memenuhi syarat sah, perjanjian tersebut berlaku dengan kekuatan mengikat selayaknya sebuah undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.
Syarat sah perjanjian terdiri atas syarat subjektif dan syarat objektif. Syarat subjektif mengatur mengenai kesepakatan kehendak dari dua belah pihak yang cakap di mata hukum. Sedangkan syarat objektif mengatur mengenai objek yang akan diperjanjikan. Setelah terpenuhinya kedua syarat ini, para pihak memiliki ruang pengaturan yang luas untuk menentukan kondisi-kondisi lain sesuai kebutuhan mereka. Dalam konteks perjanjian tertulis, para pihak dapat pula bersepakat untuk menuangkan isi perjanjian dalam bentuk akta autentik ataupun akta di bawah tangan.
Akta di bawah tangan merupakan perjanjian yang dibuat tanpa adanya peran Notaris, sedangkan akta autentik dibuat dalam bentuk formalitas yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan Notaris. Kehadiran Notaris sebagai pejabat yang berwenang dalam momentum pembuatan perjanjian seringkali dianggap sebagai syarat agar perjanjian tersebut dinilai ‘afdal’ dan mengikat para pihak secara ketat. Padahal perjanjian tanpa kehadiran Notaris tetap mengikat dan tetap berlaku bagi para pihak yang membuatnya.
Pembuatan akta di bawah tangan dapat dibuat hanya berdasarkan kesepakatan para pihak dan syarat-syarat sahnya perjanjian secara konvensional. Kekuatan mengikat ke dalam (bagi para pihak) dan keluar (bagi pihak ketiga) akta yang dibuat tanpa bantuan atau kehadiran notaris tentunya setara dengan kekuatan mengikat akta autentik yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris. Peran akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan notaris akan menjadi penting apabila kita berbicara mengenai perbuatan hukum yang diatur secara khusus dalam Undang-Undang dan perihal pembuktian di persidangan. Lalu sebenarnya seberapa penting peran Notaris dalam pembuatan sebuah perjanjian?
Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, wewenang utama Notaris sebagai seorang pejabat umum terletak pada pembuatan akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh Undang-Undang atau yang dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan. Wewenang lain dari jabatan notaris juga tercantum dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a dan b, yakni bahwa notaris memiliki kewenangan mengesahkan tanda tangan serta menetapkan kepastian tanggal akta di bawah tangan (legalisasi) dan kewenangan untuk membukukan surat di bawah tangan (registrasi).
Akta autentik dapat dibagi menjadi dua jenis yakni akta autentik yang mengharuskan pembuatannya oleh notaris dan akta autentik yang hanya mengharuskan pembuatannya di hadapan notaris. Perbedaannya, akta autentik yang pertama berisikan uraian notaris dari suatu tindakan hukum yang disaksikan langsung oleh notaris. Notaris-lah yang secara aktif menyaksikan dan menjelaskan jalannya tindakan hukum tersebut. Contoh dari akta autentik jenis pertama ini ialah akta pendirian perusahaan, akta berita acara RUPS dalam PT, dan akta jual beli tanah dan bangunan. akta berita acara Rapat Umum Pemegang Saham dalam Perseroan Terbatas Sedangkan, jenis akta autentik yang kedua adalah akta autentik yang memuat uraian kehendak para pihak yang di buat di hadapan notaris. Contoh dari jenis ini misalkan pada perjanjian sewa menyewa, perjanjian pendirian usaha, dan perjanjian kredit.
Kondisi yang kedua, akta autentik dibutuhkan dalam perihal pembuktian dalam perkara perdata. Para pihak masing-masing dapat mengajukan alat bukti berupa bukti tertulis, bukti dengan saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah (Pasal 1865 KUHper). Akta autentik sendiri merupakan insturmen pembuktian yang memiliki kekuatan pembuktian paling sempurna.
Dengan menunjukan akta autentik, maka secara bersamaan telah terpenuhi tiga lapis pembuktian. Yakni, pembuktian antara para pihak bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta, bahwa peristiwa memang benar terjadi, dan pembuktian bahwa benar dalam tanggal tersebut yang bersangkutan telah menghadap kepada pejabat yang berwenang. Sebagai alas hukum yang sempurna, keabsahan akta autentik tidak dapat lagi diperdebatkan berdasarkan tafsiran masing-masing pihak. Berbeda dengan kekuatan pembuktian akta di bawah tangan, yang kebenarannya dapat didalilkan oleh pihak yang bersengketa dan kebenarannya bergantung pada interpretasi hakim. Sehingga dengan melakukan pembuatan akta autentik di Notaris, para pihak tidak dapat berdalih pada saat pembuktian nantinya bila timbul permasalahan dikemudian hari.
Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa peran notaris dalam pembuatan akta autentik didasarkan pada dua kebutuhan yang berbeda. Pertama, ada bentuk-bentuk perjanjian yang oleh Undang-Undang wajib dibuat dengan akta autentik. Kedua, akta autentik yang semula hanya bersifat di bawah tangan namun untuk keperluan pembuktian sehingga dilakukan legalisasi oleh notaris, sehingga status hukumnya bergeser menjadi akta autentik. Oleh karena itu, di luar kedua kebutuhan ini, kehadiran notaris tidak menjadi parameter sah atau tidaknya suatu perjanjian. Pandangan terhadap peran notaris perlu dikikis dengan penekanan pada siapapun yang berkehendak untuk membuat perjanjian, bahwa perjanjian tertulis yang dituangkan dalam bentuk akta di bawah tangan tetap mempunyai kekuatan mengikat secara hukum.