Take it or Leave it: Klausula Baku yang tidak Mengikat
“Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan”, “Pembayaran yang sudah dilakukan tidak dapat ditarik kembali”, dan “Segala kerusakan dan kehilangan barang yang berada di dalam kendaraan tidak menjadi tanggungjawab pengelola parkir”, merupakan segelintir-segelintir kalimat yang familiar kita temui ketika melakukan kegiatan di sarana dan prasarana umum maupun transaksi di pusat-pusat perbelanjaan. Sebagai pelanggan suatu produk, kalimat-kalimat ini sering hanya dianggap sambil lalu karena kita menganggap bahwa kondisi-kondisi demikian sudah selazimnya menjadi tanggungjawab pelanggan. Lagipula, pelanggan tidak memiliki opsi lain selain memberikan persetujuan karena konsumen mengutamakan kebutuhannya atas barang atau jasa tersebut.
Kalimat-kalimat tersebut merupakan disclaimer untuk melindungi pihak yang memberikan penawaran barang atau menyediakan jasa tertentu, seperti jasa penjualan pada supermarket/mall, bank, jasa angkutan, jasa pengiriman, dan sebagainya. Disclaimer ini merajalela di formulir-formulir pengantar transaksi di manapun kita berada, sehingga kita seringkali luput dari kesadaran bahwa kalimat-kalimat tersebut melemahkan posisi tawar kita sebagai konsumen.
Aturan, ketentuan, dan syarat yang tercantum sebagai disclaimer tersebut merupakan klausula baku. Klausula baku dipersiapkan terlebih dahulu oleh pelaku usaha secara sepihak, dan dimuat dalam bentuk kontrak tertulis atau dokumen-dokumen tertentu. ‘Sepihak’ berarti pembuatan klausula baku hanya dibuat sendiri oleh pelaku usaha sebagai pedoman bagi calon-calon custyang akan bertransaksi dengannya. pelanggan. sendiri tidak diajak untuk bernegosiasi dalam menentukan aturan dan ketentuan transaksi ini, sehingga pelanggan hanya ‘terima jadi’ tolak ukur yang telah dibuat oleh pelaku usaha. Klausula-klausula ini bersifat kaku dan tidak dapat diubah lagi, sehingga respons yang dapat diberikan oleh pelanggan hanya berupa pilihan untuk setuju dengan syarat-syarat baku apabila masih membutuhkan barang/jasa yang ditawarkan (take it) atau apabila tidak setuju, pelanggan tidak perlu mengadakan transaksi dengan pelaku usaha ynag bersangkutan (leave it).
Awal mula lahirnya klausula baku berasal dari kebutuhan frekuensi transaksi perdagangan yang terjadi dalam tempo waktu cepat dan berulang-ulang tiap harinya. Perbuatan hukum yang terjadi berulang-ulang dan melibatkan banyak orang, menimbulkan kebutuhan untuk mempersiapkan perjanjian terlebih dahulu dan dicetak dalan jumlah banyak. Klausula baku bersifat kolektif dan massal, menyamaratakan semua calon konsumen tanpa memperhatikan perbedaan kondisi antara konsumen yang satu dengan yang lainnya.
Telah disinggung sebelumnya bahwa klausula baku dapat dimuat dalam bentuk kontrak atau dokumen. Pada bentuk kontrak, klausula baku dicantumkan dalam syarat-syarat yang mengatur tentang berlakunya kontrak, berakhirnya kontrak, dan pengalihan risiko. Perjanian yang disajikan dalam bentuk formulir pada umumnya hanya akan meminta pelanggan untuk mengisi data-data informatif dan membubuhkan tanda tangan persetujuan di akhir halaman. Lain lagi halnya dalam bentuk dokumen, pelanggan ‘terpaksa’ menerima isi perjanjian hanya menerima klausula baku dalam bentuk fisik kuitansi, karcis, bon, tanda penerimaan, klausula yang tertera di papan pengumuman, atau secarik kertas yang berada di kemasan atau wadah produk yang dibeli. Situs-situs online pada umumnya juga memuat syarat dan ketentuan yang berlaku apabila seseorang butuh untuk mendaftar atau men-download sesuatu dari situs tersebut, dimana syarat dan ketentuan telah terlampir dan kita hanya disediakan pilihan untuk mengklik di kolom “setuju” atau “tidak setuju”.
Klausula baku menguntungkan pelaku usaha secara berat sebelah. Mengapa? Pelaku usaha memperoleh efisiensi waktu, tenaga, dan biaya transaksi yang mungkin keluar dari proses perundingan. Kelangsungan transaksi juga semakin praktis karena sudah tersedia formulir atau blanko yang siap naik cetak untuk disetujui dan ditandatangani. Penyelesaian transaksi berlangsung cepat karena tertutup ruang negosiasi bagi konsumen, karena konsumen hanya menyetujui. Poin terpenting dari fungsi klausula baku yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha adalah pembatasan pembebanan tanggungjawab. Tanggungjawab yang seharusnya dipikul oleh pelaku usaha dihilangkan dan dialihkan kepada konsumen.
Peralihan tanggungjawab dari pelaku usaha ke konsumen dapat kita tilik dari jenis-jenis klausula baku yang semisal berbunyi “Pengelola tidak bertanggungjawab atas kerugian atau kerusakan apapun yang ditimbulkan oleh…”. Ketentuan pengecualian dari tuntutan dan tanggungjawab ini dikenal dengan nama klausula eksonerasi. Klausula eksonerasi ini merupakan salah satu jenis klausula baku yang dilarang pembuatannya oleh Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Klausula eksonerasi yang terdiri dari 8 poin ini salah satunya menyebutkan bahwa, “…klausula baku yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian dilarang bagi pelaku usaha apabila menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha.” Klausula baku sendiri dianggap sebagai pelanggaran asas kebebasan berkontrak yang dianut hukum perjanjian di Indonesia. Mengapa? Kedudukan produsen dan konsumen seharusnya berada dalam posisi setara, sebagaimana posisi pihak-pihak yang terikat dalam kontrak. Jelas bahwa konsumen sangat dilemahkan posisinya dengan keberadaaan klausula baku.
Selain dalam konteks pengecualian pelaku usaha dari tanggungjawab, pelemahan konsumen juga dapat ditemui dalam jenis-jenis klausula baku lainnya. Dalam Pasal 18 ayat (2) dan (3) UU Perlindungan Konsumen, elaku usaha dilarang untuk mencantumkan ketentuan yang melarang pengembalian barang atau penyerahan kembali uang yang telah dibayarkan konsumen atas pembelian barang/jasa. Selanjutnya, Pasal 18 ayat (4) dan (7) melarang pelaku usaha utuk mencantumkan ketentuan yang menjebak konsumen dalam memberikan kuasa diluar keinginannya kepada pelaku usaha untuk melakukan tindakan terhadap barang yang dibeli secara angsuran. Penjebakan ini juga berlaku apabila konsumen ‘terpaksa’ mengoper hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual-beli jasa. Pelaku usaha tidak dapat pula secara semena-mena memaksa konsumen untuk tunduk pada setiap aturan baru, tambahan, lanjutan, dan/atau pengubahan lanjutan yang diterbitkan kemudian oleh pelaku usaha, menurut Pasal 18 ayat (7).
Pelemahan konsumen yang paling sering secara pribadi kita alami dalam keseharian ialah pencantuman informasi yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca dengan jelas atau diungkapkan dengan bahasa yang sulit dipahami. Seringkali kita berhadapan dengan tulisan yang ditandai dengan simbol *(tanda bintang) dan diikuti dengan aturan-aturan dan syarat-syarat tertentu. Tanda dan kalimat ini ditaruh dengan ukuran yang sangat kecil dan acap luput dari penglihatan karena penempatannya berada di pojok bawah suatu cetakan/kemasan produk/iklan. Konsumen yang tidak jeli kemungkinan besar tidak akan membaca ketentuan tersebut. Hal ini juga terjadi akibat kemalasan konsumen untuk membaca klausula baku yang ditampilkan dalam tampilan laman website yang panjang, sehingga tanpa membaca dengan seksama, konsumen langsung menekan simbol checklist untuk menandakan persetujuan terhadap aturan dan persyaratan yang tercantum.
Lalu bagaimana seorang konsumen sepatutnya merespon dengan kondisi-kondisi diatas? Konsumen patut sadar akan hak nya untuk menerima kompensasi atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai perjanjian. Konsumen juga mempunyai hak untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur soal kondisi barang dan jasa. Pelanggaran terhadap informasi yang benar dan jelas sering kita temui dalam kasus-kasus belanja online, dimana barang yang dilihat di halaman situs toko ternyata tidak sama dengan yang dikirimkan kepada pelanggan. Tiap-tiap konsumen juga berhak untuk memperoleh layanan yang benar dan non-diskriminatif. Untuk memperbaiki posisi tawarnya yang dilemahkan oleh klausula baku, konsumen dapat memperjuangkan haknya melalui proses penyelesaian sengketa konsumen secara patut.
Selain menempuh pengaduan ke Badan Perlindungan Konsumen, Kita dapat melihat keberhasilan yang dituai oleh sejumlah kasus-kasus unik dimana konsumen dimenangkan terhadap klausula baku yang bersifat membebaskan pelaku usaha dari tanggungjawab. Salah satunya adalah Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 551/Pdt.G/2000/PN dan dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi melalui Putusan No.1156/Pdt/2002 dan oleh Mahkamah Agung dalam putusan Kasasi No.1264/K/PDT/2005 yang membatalkan klausula baku “asuransi kendaraan dan barang-barang di dalamnya serta semua resiko atas segala kerusakan dan kehilangan atas kendaraan yang diparkirkan dan barang-barang di dalamnya merupakan kewajiban pemilik kendaraan itu sendiri (tidak ada penggantian berupa apapun dari penyedia parkir)”. Selain kasus karcis parkir, gugatan konsumen terhadap klausula baku juga pernah dimenangkan konsumen melawan Lion Air yang mencantumkan klausula baku yang mengecualikan tanggungjawab Lion Air dari segala keterlambatan jadwal penerbangan
Contoh-contoh berikut dapat menjadi angin segar bagi para konsumen yang rentan terhadap pemaksaaan untuk tunduk pada klausula-klausula baku dalam transaksi-transaksi yang dilakukan. Konsumen tidak serta-merta harus senantiasa tunduk pada aturan dan persyaratan yang dibuat oleh pelaku usaha, tanpa adanya kesempatan bagi konsumen untuk meninjau apakah aturan atau persyaratan tersebut punya potensi untuk merugikan dirinya. Konsumen telah dilindungi oleh Undang-Undang dan pelaku usaha dengan cermat harus memperhatikan dan mentaati perlindungan terhadap pelanggan. Contoh yang populis antara lain bahwa dalam lalu lintas transaksi secara online, pelaku usaha patut mencantumkan seperti jaminan atas kebenaran identitas penjual/pembeli, jaminan keamanan jalur pembayaran, dan jaminan keamanan website. Melalui ini, konsumen dapat memperoleh hak-hak yang semestinya dan dapat menaikkan posisi tawar untuk berdiri setara dengan pelaku usaha dan berani menggugat budaya “take it or leave it” yang dilanggengkan oleh hegemoni kekuatan penawaran barang/jasa dari pelaku usaha